Musim Menangkap Capung

Kurang lebih satu dekade yang lalu, sehabis musim panen atau pada hari biasa, menjelajahi sawah yang tidak ada padi, hanya ada beberapa petak sawah yang mulai ditanam semangka atau dibiarkan saja kering.

Menjelang maghrib anak kecil berlarian di jalan setapak di tengah sawah mengejar capung yang berkeliaran tanpa arah, ketika hari mulai gelap beberapa orang mulai dimarahi oleh orang tuanya.

orang tua menggendong anaknya yang sedang nangis.

Hampir setiap sore berkumpul dengan teman sepermainan, tidak jauh-jauh dari tetangga sebalah rumah, sehabis bermain tanah “lempung” (tanah untuk membuat genteng) membuat karya seni berupa mobil motor bahkan perkotaan dari tanah lempung.

Tidak pernah absen diomeli oleh orang tua karena selalu mengotori halaman depan rumah dengan tanah, sempat kesal akhirnya mencolek genteng yang belum kering besoknya diomelin tetangga.

Cuaca mulai adem, sudah makan dan habis selesai mandi, langsung bergegas menuju sawah di depan rumah, ada beberapa anak yang membawa saringan untuk menangkap capung, ada juga bapak-bapak ikut mencari capung.

bocah tengil menggerutu kepada bapak tersebut

bapak itu menjawab ocehan bocah tengil

Sudah malam, bocah tengil pulang ke rumah dengan tangan kosong, tidak mendapatkan satu ekor capung kalah saing dengan bapak-bapak yang tadi, kesal bukan main, semalaman bocah tengil tersebut tidak mau mandi dan makan, tapi jadi sering minum.

Mata mulai lelah bocah tengil tertidur sampai lupa kencing, karena terlalu capek nangkep capung tapi enggak dapet, tengah malam bapak si bocah tengil datang membawa kantong plastik.

istrinya bertanya

jawabnya

Pagi harinya si bocah tengil kaget bukan main, di pusarnya masih menempel lima ekor capung, lantas menangis keras-keras, sebab kelima capung itu ikut kaget lalu pindah menggigit burung bocah tengil.