Hari Imunisasi

Besok adalah hari imunisasi bagi anak-anak. Kegiatan belajar di sekolah Mila ditiadakan. Seharian para guru sibuk menghias seluruh penjuru ruangan kelas untuk menambah rasa nyaman pada anak-anak esok hari. Buku cerita, film anak-anak, boneka, segalanya sudah siap. Rampung saat matahari terbenam, para guru bergegas untuk pulang, mengisi kembali tenaga untuk esok dan segala ceritanya.

Pagi itu anak-anak memakai pakaian bebas, memasuki gerbang sekolah digandeng orang tuanya. Sapaan dan salam yang biasa terdengar setiap pagi terasa sedikit berbeda ketika melihat orang tua ikut memasuki ruangan kelas yang sudah tertata dan dihias. Anak-anak masih terlihat tenang dan menikmati waktu bermainnya, para orang tua berkumpul sambil bercerita, harap cemas anaknya nanti berbuat apa.

Terlihat dari jauh kendaraan yang datang mendekat ke arah sekolah. 2 orang dengan wajah asing membawa tas dan kotak entah berisi apa. Seorang guru menghampiri Mila, petugas imunisasi sudah datang pesannya. Anak-anak yang tadinya bermain dengan riang sekarang wajahnya terlihat tegang. Drama hari ini akan segera dimulai. Senyuman terpaksa dari orang tua dibalas dengan tawa kecil dari Mila.

“Teman-teman, petugas imunisasinya sudah datang. Nanti yang dipanggil segera ke ruangan imunisasi ya!”

“Oh iya, teman-teman yang belum dipanggil bisa menunggu sambil bermain”

“Mama, habis ini aku disuntik?”

“Bunda, pulang!”

“Aku berani kok, disuntik kan nggak sakit! Cuma kayak digigit semut”

Menghela napas panjang sambil mencoba menenangkan keributan yang baru saja terjadi. Para orang tua mulai membujuk dengan segala kalimat dusta. Ada yang bilang seperti dicubit, digigit semut, segala iming-iming dibelikan mainan baru, hingga tangisan pura-pura dari orang tuanya untuk menarik simpati. Para guru membantu menenangkan dengan segala jurus rahasia yang sebenarnya biasa saja, tapi tak cukup ampuh ketika orang tua melakukannya.

Nama demi nama bergiliran dipanggil, jeritan dan tangisan terdengar bersahutan. Memang rasanya sakit ketika disuntik, melihat jarum menembus kulit dan daging, rasa sedikit nyeri diikuti dengan demam sebagai efek samping vaksin adalah hal yang lumrah. Takut dan tegang hanya akan menambah rasa sakit setelahnya, mungkin itu yang banyak anak-anak tidak tahu. Melihat teman-temannya menangis ketakutan seakan mengasah empati.

“Sakit bunda, nggak mau! Sakit! Jangan pakai yang itu!”, rengek anak

“Sakitnya sebentar, jangan dilihat jarumnya! Itu loh lihat filmnya, eh ada Tayo!”, bujuk orang tua

“Nanti dokter kasih stiker sama permen kalau sudah selesai”, sang dokter menimpali

Mila mencoba menenangkan anak-anak yang berada di ruang tunggu, bermain balok dan boneka, berpura-pura menjadi keluarga yang bahagia. Skenario yang polos dari anak-anak, Mila hanya mengikuti cerita yang mereka buat. Tertawa geli sambil merasa mulas, memikirkan apa yang akan terjadi ketika giliran mereka datang. Hari yang tidak biasa ketika tangisan dan ketakutan membuat sekolah tidak terlihat menyenangkan.

“Ayah, anaknya itu belum mandi! Jam berapa ini? Ayo anaknya dibangunin!”

“Hey anak, bangun kamu!”

“Siram air dulu, baru nanti pakai sabun!”

“Ini makannya jagung aja, ya?”

“Sama susu, ma!”

“Susunya hilang!”

Percakapan yang akan dirindukan ketika Mila tidak ada di sekolah. Satu per satu anak-anak telah menghadapi ketakutannya. Sempat berontak dan menangis ketakutan, beberapa menit berikutnya sudah kembali bermain dan tertawa. Andai melupakan rasa sakit bisa secepat itu bagi Mila. Mata yang masih merah sembap dan suara yang serak sehabis menangis berteriak mengiringi tawa lepas.

“Kamu itu sudah ditunggu mama dari pagi, sekarang malah nggak jadi suntik!”

“Kan kata dokternya kalau sakit batuk pilek nggak boleh disuntik”

“Tapi kamu kan seger, nak!”

“Uhuk-uhuk! Nggak, aku batuk”

“Pusing mama!”

Seorang ibu kelewat kesal melihat tingkah anaknya, menggerutu entah sudah berapa lama. Sang anak mulai merasa tak nyaman dengan kejengkelan ibunya yang tak kunjung reda. Mila hanya mengamati dari kejauhan sambil tetap menemani anak-anak lainnya. Kasihan juga ketika melihat seorang anak harus menjadi sasaran kejengkelan orang tua di depan banyak orang, tapi mencampuri urusan orang yang sedang dilanda emosi juga dirasa lancang.

Matahari mulai meninggi, tak terasa tinggal 2 anak lagi yang tersisa. Sepasang kembar identik laki-laki ditemani oleh ibunya. Raut wajah mereka sudah muram sejak berdiri di depan pintu. Sapaan dari dokter tak digubris sedikit pun. Air mata mulai membasahi pipi mereka dan tangisan pun pecah ketika seseorang menanyakan siapa yang bersedia untuk disuntik lebih dulu.

“Aku benci sekolah ini!”

“Keluarkan aku dari sini!”

“Aku tidak ingin semuanya terjadi!”

“Biarkan aku pegi dari sini! Tolong!”

Teriakan dan tangisan semakin terdengar nyaring. Anak-anak lain mengintip dari celah pintu dan jendela sambil berbisik-bisik, tak berani masuk karena sudah cukup sekali saja mereka menyaksikan jarum suntik hari ini. Si kembar masih belum tenang, kalimat yang sama terdengar dari sudut ruangan yang berbeda. Satu bersembunyi di bawah meja, satu lagi berontak di pangkuan ibunya.

Hari imunisasi adalah hari khusus saat anak-anak merasa cemas untuk pergi ke sekolah. Hari ketika orang tua dan guru saling pandang dengan tawa canggung kecil ketika anak-anak berulah. Tangisan terdengar lebih sering dan nyaring daripada hari-hari lainnya. Cukup melelahkan untuk menenagkan puluhan anak yang ketakutan dalam satu hari. Libur dua hari untuk bersiap dengan cerita baru lagi.

*caption: Photo by CDC from Pexels