Jalan-Jalan di Malam Hari

Hari sudah mulai gelap, rumah terasa hidup hanya ketika jam makan telah tiba. Dentingan bunyi sendok beradu dengan piring dan gelas. Seporsi nasi dan lauk ditemani dengan teh panas tersedia di meja. Gemercik air terdengar dari westafel dapur, semua orang berkumpul di ruang tengah.

Tidak ada percakapan berarti, kecuali mengomentari badanku yang tak kunjung berisi seperti anak-anak tetangga semasa pandemi. Tertunduk sibuk dengan sajian di piring, tak ingin ambil pusing. Terdengar samar-samar keributan di rumah sebelah, sang anak memecahkan piring dan ibunya marah-marah.

Acara di televisi semakin membosankan, belum ada kabar baik di masa sulit ini. Kebijakan tak kunjung mendukung tenaga kesehatan yang kelimpungan, drama-drama yang disajikan tak jauh dari alunan lirik kumenangis dan cerita perselingkuhan tak kunjung rampung.

Kembali ke kamar, tempat ternyaman untuk bertapa. Memutar video dari konten yang disuka sembari menulis saat tak ada teman untuk bercerita. Memalingkan pikiran dari burung biru yang tak pernah lelah mengoceh setiap hari. Suara hewan berlarian di atas plafon yang mulai retak membuat was-was.

Tak kunjung tertidur walau sudah dipaksa. Terlintas pikiran bagaimana nasibku jika plafon rubuh dan ular piton jatuh di atasku. Samar-samar suara dari video yang kuputar menemani malam di kamar sendiri. Memeluk guling seperti biasa dan memejamkan mata saat kebisingan di atas plafon mulai mereda.

Mataku terpejam setelah mencoba untuk tidur selama berjam-jam. Terasa aneh saat tiba-tiba merasa seseorang memanggilku. Sekelilingku hanya terlihat rumah kosong dengan tembok putih yang berdebu. Terdengar suara tangisan dari pojok ruangan, seorang wanita berjubah putih lusuh berdiri sendirian.

Dia bercerita tanpa menatapku, bibirnya tak bergerak, tapi telingaku mendengar suaranya. Tangisannya membuat dadaku terasa sesak. Dia terlihat lelah, tersakiti sekian lama. Ingin kumendekat tapi ia menolak, cukup dari jauh saja katanya. Terpaksa menjadi pemuas nafsu hingga dibunuh. Menitipkan sebuah pesan, meminta doa.

Bantal dan pipiku basah dengan air mata. Terbangun dengan rasa sesak dan kepala yang nyeri, perih. Sedari tadi aku hanya meringkuk di atas kasur, sendiri. Sekujur tubuhku dingin, menangis tak henti-henti. Mendoakan yang telah pergi, terbisik ucapan terima kasih.

Dia sudah pergi, tanpa dendam, hanya rasa sedih. Bau lembap rumah itu dan hawa dingin masih tersisa, pun sedikit rasa sakit darinya yang masih terasa. Bukan yang pertama kali ini terjadi, bukan yang terakhir kali juga hal serupa kualami. Menyusuri mimpi, jalan-jalan di malam hari.