Agama sebagai lahan basah

“guru spiritualku adalah realitas dan seisinya” kalimat yang terdengar tidak asing lagi di telinga, bumi dan seisinya berbaur, berdampingan, menindih, dan merintih.

melihat kenyataan sekarang bahwa sesuatu yang berhubungan dengan agama, selalu terlihat renyah dan gurih, banyak menimbulkan efek dopamin yang bisa membuat para penikmat menjadi merasa bahagia berasa tinggal di surga, mendengarkan kata-kata yang tersirat dari mulut seorang manusia yang dianggapnya suci oleh pengikutnya atau mungkin titisan tuhan, katanya.

tetapi apa mau dikata, jika melihat tanpa merasa, kehidupan yang maha cepat berubah dari hulu ke hilir, membuat binatang yang berotak merasa tertindih karenanya, cobaan hidup yang silih berganti tanpa hentinya, membuat sebagian orang merasa takut ingin bernafas denganya, seperti kata filosofi toakai “semua yang kita harapkan tidak semuanya terwujud, dan, semua yang kita takutkan tidak semuanya terjadi.

seperti kata albert camus bilang bahwa hidup ini absurd, tidak jelas, kita dipaksa oleh hal-hal yang memang jika dicerna oleh akal sehat takan habis terpikirkan, seperti bencana alam, ia datang tanpa diundang menerjang dan menggoyahkan kestabilan kehidupan manusia yang tidak banyak dosa bagi sebagian. “aku memberontak maka aku ada”.

solusi yang disampaikan oleh hal absurd ini ialah “Memberontak” dengan hal-hal yang absurd, bayi manis lahir di dunia adalah penderitaan, menjadi tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, keinginan adalah penderitaan seperti kata mahatma gandhi dan sidarta.